Author : Pyeon So Jung (PSJ)
Title : The Last TargetGenre : Action, Thriller, Friendship
Type : Series
Rating : PG-16
Cast :
- Lee Donghae / Sean
- Choi Siwon / Andrew
- Hong Taerin / Rene (OC)
- Fernando Fettulini / Dave Winstone (OC)
Annyeonghaseyo ELF! Hai hai... admin bawa FF action nih.. sebelumnya ini Coming Soon dan akhirnya admin memutuskan untuk publish hari ini *baru prolognya*.. hehehe.. setelah sekian lama Coming Soon yah~*emang ada yang nungguin FF ini?* #gampar. Oke karena banyak adegan kekerasan ratingnya jadi PG-16 ya.. dan TADAAA.. LEE DONGHAE jadi peran utamanya.. hahahah~ akhirnya biasku yang gantengnya ga ketulungan ini muncul di FFku yang kedua kalinya setelah Donghae's Weekend. Klo di Donghae's Weekend kan dia agak konyol gitu TAPI, aku usahain deh perannya disini bakalan ketjeeeehhh banget. hoho *evil laugh* #abaikan! anyway bushway, hope you like it and happy reading~~
“Kau target terakhir mereka.”
Derap langkah tegas itu membuatku membuka mata. Kini aku
terjaga dalam kegelapan. Kulihat cahaya yang bergerak-gerak dari celah pintu,
seseorang akan segera datang. Bunyi putaran kunci terdengar sangat jelas dalam
kesunyian. Suara itu terngiang-ngiang dalam benakku saking seringnya mereka keluar-masuk sel ini. Hidungku lalu mengendus bau menyengat – bau rokok marlboro.
Ah, dia lagi rupanya.
Perlahan aku menegakkan kepala – menunggu orang itu
membuka selku. Suara gembok dan kunci mendominasi lagi, membuat pendengaranku terganggu. Lalu tidak lama setelah
itu, seseorang berbaju hijau kelabu memasuki ruangan kumuh ini. Ia berdiri
tidak jauh dariku. Pria itu, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas tapi aku
yakin ia tengah tersenyum sombong.
“Mangiare questo,
stronzo!” (Makan ini, brengsek!) ucapnya lalu menjatuhkan piring logam
berisi roti dan ikan kaleng – lagi. Aku hanya tertunduk seperti orang putus asa.
Penjaga penjara itu terkekeh kemudian pergi dari hadapanku.
Pria itu kembali mengunci selku. Ia berhenti sejenak untuk menggumamkan
bahasa Italia itu lagi.
“Preparatevi!” (Bersiap-siaplah!)
Cahaya dari pintu itu menghilang. Aku mendesah pelan.
Waktunya sudah tiba ternyata – aku akan segera dieksekusi. Kutatap makanan
penjara itu tidak berminat. Bau seperti alkohol menyeruak. Tidak ragu mereka
memasukkan sesuatu di dalam ikan itu, mungkin semacam pelumpuh agar aku tidak
bertindak sesuatu. Seperti hari-hari yang lalu, mereka memasukkan Dantrolene untuk melumpuhkan sendi dan otot sehingga mereka bisa membunuhku lebih mudah. Tapi sayang, orang-orang itu
begitu bodoh hingga tidak berpikir untuk melumpuhkan inderaku.
Tidak lama kemudian, pintu selku kembali berbunyi. Datanglah
dua orang berpakaian hijau kelabu. Salah satu dari mereka mendekatiku – melepas
rantai besi yang melingkar di kedua pergelangan tanganku. Aku merasa sedikit
lega meskipun sebuah borgol masih terpasang manis.
“Today, you’re end!”
ujarnya keras dengan aksen Italia yang kental.
Aku menyeringai. Kulirik nametag
yang ada di dada kanannya. Fernando Fettulini. Jadi itu namanya. Ia menarikku
paksa, membawaku keluar dari ruang pengap ini. Temannya yang berbau rokok marlboro itu memegang kuat lengan
kiriku.
Begitu aku keluar dari sel, tidak kusangka aku disambut
puluhan orang berbaju hijau kelabu, komplotan yang sama seperti dua orang yang memegangi tanganku ini. Mereka bersenjata lengkap. Tatapan mereka
mengintimidasi. Aku dikawal sangat ketat seolah aku adalah manusia paling
berbahaya di dunia. Tapi kenyataannya memang begitu kurasa. Setelah aku melihat keadaan sekitar, aku tahu memberontak
hanyalah tindakan sia-sia. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana aku bisa
lari dari sini dan menyelamatkan agen lain.
Tangan kekar itu terus mencengkeramku, menggiringku ke suatu
tempat. Kami memasuki sebuah lift. Dari getarannya, kurasa lift ini menuju ke atas. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka. Lalu cahaya seketika menusuk mataku. Sudah pagi rupanya. Pagi yang indah ini bisa menjadi pagi terakhirku bila aku tidak segera bertindak. Pertama kali yang kulihat adalah
sebuah lapangan tertutup. Tidak ada pintu ataupun celah. Hanya sebuah lapangan yang dikelilingi pagar beton nan tinggi. Aku mengedarkan pandangan sambil memutar otak. Lift? Itu adalah ide yang buruk. Mereka sudah pasti akan mematikan lift-nya. Aku terus berpikir keras. Pasti
di sekitar sini ada jalan lain untukku.
Melawan mereka? Tidak! Mereka banyak sekali. Satu banding seribu tidaklah mungkin. Seperti pasukan semut, mereka
berbaris seakan menunggu saatnya aku mati. Jurus taekwondo ataupun kungfu tidak berguna sama sekali, mereka bisa membunuhku hanya dengan satu telunjuk. Sebuah pikiran bodoh terlintas –
tidak ada jalan keluar. Hanya ada dua pilihan. Pertama, memberontak kemudian
ditembaki habis-habisan. Kedua, menanti ajal. Tentu saja aku tidak akan memilih keduanya. Aku
tidak berniat mati seperti ini. Aku punya pilihanku sendiri.
Tidak terasa aku sudah berada di depan sebuah sumur. Hanya
Fernando Fettulini yang membawaku menuju algojo itu, sementara sisanya
memegangi senapan untuk berjaga-jaga. Seseorang
berpakaian hitam itu telah menyiapkan kapaknya. Sekali tebas maka semuanya
berakhir.
Fernando mendorong kepalaku hingga pipiku menyentuh balok
kayu. Hidungku tidak sengaja menghirup bau anyir yang sangat kuat. Aku tidak
tahu sudah berapa kali balok ini digunakan untuk memenggal kepala orang hingga
warnanya serupa dengan darah. Tiba-tiba pria Italia itu mendekatkan bibirnya di
telingaku.
“Fuggire ora, compagno!”
(Larilah, kamerad!) bisiknya membuatku membulatkan mata. Kurasakan tanganku
melonggar. Fernando telah membuka borgolku diam-diam. Ini bukan saatnya untuk
bertanya-tanya mengapa ia melakukan itu. Aku yakin dia ada di pihakku sekarang.
Sekejab kemudian, aku menendang kuat algojo itu hingga ia
terpental. Bila aku terlambat sedetik saja, entah bagaimana jadinya leherku.
Keheningan kemudian datang. Aku melihat sekeliling. Semua orang tengah
mengacungkan senjatanya kepadaku. Perlahan aku mengangkat kedua tanganku
sembari berjalan mundur mendekati sumur itu. Fernando yang kepergok menghianati,
melakukan hal sama denganku. Ia berada di depan seperti sedang melindungiku.
Pria itu menengok ke belakang, menatapku serius. “Jump now!” tanpa basa-basi aku
menjatuhkan tubuhku ke dalam sumur itu. Suara tembakan mulai bersahut-sahutan.
Lalu, tubuhku menghantam air berbau anyir itu. Aku tidak bisa melihat dengan
jelas. Aku hanya merasakan sesuatu mendesakku yang kuyakini itu adalah
kepala-kepala orang yang sudah dipenggal. Setelah aku mencoba mengamati isi sumur,
tempat ini seperti saluran pembuangan yang bercabang-cabang. Sangat menjijikkan
memang, tapi saat terdesak seperti ini hal yang paling penting yaitu kabur
dengan selamat.
Beberapa detik kemudian Fernando menyusul. Samar-samar
kulihat wajahnya terluka dengan luka tembak di pipi.
“Be careful!” ucapnya
memperingatkan. Ia menyudutkanku ke dinding sumur yang tersembunyi. Lalu mereka
menembaki sumur dengan membabi-buta. Peluru-peluru itu jatuh sia-sia di air.
Satupun tidak ada yang mengenaiku ataupun Fernando.
Tiba-tiba, Serbuan peluru yang cukup gila itu berhenti. Seseorang pasti sudah menghentikannya – komandan mereka. Itu artinya mereka akan mengejar kami. Sebentar lagi.
“It’s save now, they
are running out of bullet. Let’s go!” ucap Fernando sambil memeriksa
keadaan. Pria itu berjalan dalam rendaman air ini – mengajakku untuk
mengikutinya.
“Hold your breath!
This place is greatly aromatic, dude.” bisiknya beriringan dengan napas
yang tidak teratur. Aksen Italianya hilang, entah aku tidak tahu siapa
sebenarnya pria ini.
“Who are you?”
“Fernando Fettulini.”
“It’s not your name. I
know.”
“Is it important right
now? Let’s get out from here! Over there!” katanya seraya berjalan menuju salah
satu saluran. Aku mengikutinya namun masih waspada. Sejak dulu aku tidak mudah
percaya pada seseorang. Apalagi dengan orang asing ini. Bisa saja ia mata-mata
yang berusaha mendekatiku lalu menjebakku kemudian.
“Tell me, how i can
trust you?” tanyaku curiga.
Pria itu berhenti kemudian terkekeh. “I’m the one of you. Friend of Siwon and Taerin. Now you
believe me?”
“They are right. You're a man with high suspicion. But it's good.”
lanjutnya kembali terkekeh.
Aku terdiam memandangi pria berambut kecokalatan itu. Ia sedikit mencurigakan, tetapi baru saja ia menyebutkan nama asli dua temanku yang seharusnya tidak diketahui sembarang orang. Choi Siwon dan Hong Taerin, mereka biasa memakai nama samaran Andrew dan Rene. Aku tidak punya waktu memikirkan bagaimana pria asing ini mengetahuinya. Mungkin aku tidak punya pilihan selain mempercayai pria ini.
Aku terdiam memandangi pria berambut kecokalatan itu. Ia sedikit mencurigakan, tetapi baru saja ia menyebutkan nama asli dua temanku yang seharusnya tidak diketahui sembarang orang. Choi Siwon dan Hong Taerin, mereka biasa memakai nama samaran Andrew dan Rene. Aku tidak punya waktu memikirkan bagaimana pria asing ini mengetahuinya. Mungkin aku tidak punya pilihan selain mempercayai pria ini.
“Okay, now i believe
you. Move quickly!”
“You don’t say.”
Aku dan seseorang yang kupanggil Fernando itu melanjutkan
pelarian. Kami bergerak setengah berlari. Bau busuk yang terus menyeruak tidak
dihiraukan sedikitpun. Kini tidak ada kepala manusia dalam saluran ini.
Setidaknya baunya lebih baik daripada tadi. Fernando tahu-tahu berhenti. Ia
mengecek alat pelacak berbentuk jam di tangannya.
“Look! We have to get
out through this.” ucapnya seraya menunjuk lubang lingkaran yang berada di
atas kepalanya.
“What are you waiting
for? Open that hole!”
“Sttt... Wait for them
in a minute.” pria itu mencegahku membuka lubang saluran. Hal itu memang
cukup beresiko karena kami tidak tahu keadaan luar. Bisa saja ada polisi Italia
yang sedang berjaga. Kulihat jam tangannya yang berkedip-kedip – sesuatu tengah
mendekat ke posisi kami – sebuah mobil kurasa. Tak lama kemudian, sesuatu itu
berhenti tepat di lubang itu, tepat di atas kami.
Fernando seketika membuka lubang bundar itu. Ia berusaha
naik begitu pula aku yang mengikutinya. Seseorang yang kukenal mengulurkan
tangannya – membantu kami masuk ke dalam mobil itu. Choi Si Won.
“Kau terlihat berantakan, Donghae-ya.” sapanya sambil menyeringai.
“Apa kami terlambat?” ujar seseorang yang mengemudikan
mobil. Hong Tae Rin. Gadis tomboy itu melihat ke belakang. Sesekali ia
menghisap rokoknya.
“Ani. Kalian tepat
waktu.” jawabku melempar senyum padanya.
Tiba-tiba, sinar merah seperti laser menyorot kearah kami. Mereka sudah mengunci titik tembak – akhirnya mereka menemukanku. Kawanan mobil polisi mendekat ke arah mobil kami. Sirine menyeru bersahut-sahutan. Sudah saatnya pergi dari sini.
Tiba-tiba, sinar merah seperti laser menyorot kearah kami. Mereka sudah mengunci titik tembak – akhirnya mereka menemukanku. Kawanan mobil polisi mendekat ke arah mobil kami. Sirine menyeru bersahut-sahutan. Sudah saatnya pergi dari sini.
“Shit!” umpat
Taerin yang lebih akrab kupanggil Rin. Spontan ia menancapkan gasnya membuat
kami semua terpental ke belakang. Gadis itu pengemudi terbaik di antara kami,
khususnya dalam hal melarikan diri. Meski gaya menyetirnya sedikit ugal-ugalan.
“You’re mad!” ujar
Fernando yang hanya dibalas Rin dengan kekehan. Polisi-polisi nekat itu tidak tinggal diam. Mereka menembaki kaca mobil hingga Rin beberapa kali kehilangan fokus.
"By the way, there is a tracer in Sean's arm." ujar Dave mencoba memberitahu. Tapi tidak ada yang menanggapi karena suasana terlalu panik.
"Menunduk! Mereka sungguh gila!" serunya seraya memainkan kemudi ke kiri dan ke kanan untuk mengecoh.
"By the way, there is a tracer in Sean's arm." ujar Dave mencoba memberitahu. Tapi tidak ada yang menanggapi karena suasana terlalu panik.
"Menunduk! Mereka sungguh gila!" serunya seraya memainkan kemudi ke kiri dan ke kanan untuk mengecoh.
“Apa yang membuat mereka mengikuti kita?”
“Ada pelacak di tubuhku.”
“Ya! Kenapa tidak dari tadi kau bilang?” gadis itu menengok
ke belakang memasang wajah kesal. Matanya menyorot ke arahku. Aku hanya mengangkat bahuku acuh. “Kukira kau
sudah tahu.”
Mata Rin beralih, kini ia menatap tajam Fernando. "I have told you before." kata pria asing itu membela diri.
Mata Rin beralih, kini ia menatap tajam Fernando. "I have told you before." kata pria asing itu membela diri.
“Hey, Dave! You drive!”
titahnya sambil menyeret pria asing itu untuk menggantikannya mengemudi. Dugaanku benar, nama aslinya Dave ternyata.
“Di mana pelacaknya?” tanya Rin seraya mendekatiku. Gadis
itu membuang rokoknya sembarangan.
Aku mengangkat tanganku. “Di nadi.”
Rin meraba-raba nadiku kemudian terlihat sesuatu berwarna
merah menyala-nyala di balik kulitku.
“Aish.. Bagaimana
mereka memasukkan ini?”
“Dengan suntik. Rin, ambil kotak peralatan di belakangmu!”
ucap Siwon serius.
“Kita harus segera mengeluarkan ini. Sebelum menuju
jantungmu. Pisau!” dengan cekatan Rin memberikan pisau pada Siwon.
"Rin, kau harus cepat. Donghae bisa kehabisan darah jika kau tidak segera mengambil benda itu. Aku akan menghambat pendarahannya sementara kau mengambil benda itu. Arra?" jelas Siwon sementara Rin mengangguk mantap.
“Ini mungkin agak sakit. Tahanlah sebentar!”
Siwon mulai menyayat
nadiku. Aku mengerang kesakitan sementara darah segar mulai mengalir deras.
“Jangan sampai memotong pembuluhnya! Cepat ambil pelacak itu
sekarang!” perintah Siwon.
"Aku tidak bisa melihat apa-apa. Seperti apa pelacak itu?" tanya Rin panik.
"Tenang.. Fokuslah.. Benda itu menyala-nyala. Sangat kecil." jawabku seraya merintih, menahan sakit.
"Ppali Rin-ah! Kau bisa membunuh Donghae."
"Arraseo. Kau diamlah! Tidak lihat aku sedang berkonsentrasi?"
Dengan hati-hati Rin mengambil pelacak yang ada di bawah pembuluh darahku. Benda besi itu hanya berukuran 3 milimeter sehingga mudah sekali terbawa aliran darah. Jika sampai ke jantung, sungguh aku akan tamat. Rin segera menghancurkan benda itu dengan kukunya tapi tidak berhasil. Ia kemudian melemparnya ke luar jendela. Setidaknya benda itu tidak bisa melacak keberadaan kami. Benda kecil itu benar-benar merepotkan.
"Aku tidak bisa melihat apa-apa. Seperti apa pelacak itu?" tanya Rin panik.
"Tenang.. Fokuslah.. Benda itu menyala-nyala. Sangat kecil." jawabku seraya merintih, menahan sakit.
"Ppali Rin-ah! Kau bisa membunuh Donghae."
"Arraseo. Kau diamlah! Tidak lihat aku sedang berkonsentrasi?"
Dengan hati-hati Rin mengambil pelacak yang ada di bawah pembuluh darahku. Benda besi itu hanya berukuran 3 milimeter sehingga mudah sekali terbawa aliran darah. Jika sampai ke jantung, sungguh aku akan tamat. Rin segera menghancurkan benda itu dengan kukunya tapi tidak berhasil. Ia kemudian melemparnya ke luar jendela. Setidaknya benda itu tidak bisa melacak keberadaan kami. Benda kecil itu benar-benar merepotkan.
“Is he alright?” tanya Dave cemas. Matanya melirik kaca spion.
“He is fine. Drive
faster, Dave!” jawab Rin. Gadis itu menghembuskan napasnya lega. Ia melirik
Siwon yang sedang menjahit lukaku kemudian matanya bertemu denganku. Ia
mengangguk kecil – seolah sedang mengatakan ‘semua akan baik-baik saja’.
“I think they can't follow us now.” ujar Dave lega.
“Good job, Dave!” balas Rin seraya tersenyum puas.
“Kau kehilangan banyak darah. Kita harus cepat ke Korea
selagi kau memulihkan kondisimu. Kami benar-benar membutuhkanmu, Donghae-ya.” Siwon angkat bicara seusai
menjahit nadiku.
“Lihatlah! kau bahkan tampak kurus sekarang. Apa mereka
tidak memberimu makan?” tanya Rin sambil menepuk-nepuk pipiku. Aku hanya
tersenyum kecil. “Gwenchana.”
"Siwon-ah, kita tidak bisa kembali." ucapku menatap Siwon serius.
"Wae?"
"Siwon-ah, kita tidak bisa kembali." ucapku menatap Siwon serius.
"Wae?"
“Kita harus menyelamatkan agen
lain. Mereka masih ada di tempat terkutuk itu.”
Kulihat Siwon dan Rin saling beradu pandang tanpa mengatakan apapun. “Wae? Apa yang terjadi?”
“Donghae-ya–”
“Masih ada Leeteuk Hyung dan Kyuhyun. Mereka akan dibunuh besok. Benar bukan? Kita
tidak bisa kembali ke Korea. Kita harus mengeluarkan mereka dari sana.” Aku kembali mengoceh
karena dua orang di depanku ini tak kunjung bicara.
“Kau
belum mengerti. Mereka sudah dieksekusi dua hari yang lalu.” jelas Rin menatapku
sendu.
“Maldo Andwae.
Kalian berbohong ‘kan? Jelas-jelas aku melihat mereka masih ada di selnya.”
“Itu benar, mereka mengecohmu agar kau berpikir kaulah yang
mati duluan. Tapi kenyataannya mereka membunuh Kyuhyun, lalu Leeteuk Hyung,
selanjutnya barulah kau.”
“Apa maksud mereka melakukan itu?”
“Semacam pancingan agar kau kembali ke penjara itu untuk menyelamatkan Kyuhyun
dan Leeteuk. Jika kau kembali maka mereka akan segera membunuhmu.”
"Sungguh taktik yang luar biasa." gumam Rin.
"Sungguh taktik yang luar biasa." gumam Rin.
"Bagaimana kalian mengetahuinya?"
"Mata-mata." kata Rin sambil melirik Dave.
"Dave, take us to the airport! We will comeback."
"Mata-mata." kata Rin sambil melirik Dave.
"Dave, take us to the airport! We will comeback."
"Tunggu." dahiku berkerut memikirkan jalan keluar masalah ini. Lalu
sebuah pertanyaan muncul. “Apa ada agen lain yang
masih hidup?”
Siwon menggeleng pelan. “Hanya kau. Maka dari itu kau harus
tetap hidup.”
Aku terdiam mendengar ucapan Siwon. Tidak percaya sekaligus syok. Bagaimana bisa aku yang terakhir? Dari puluhan orang, hanya aku yang tersisa? Berarti mereka sudah membantainya, secepat itu?
Aku terdiam mendengar ucapan Siwon. Tidak percaya sekaligus syok. Bagaimana bisa aku yang terakhir? Dari puluhan orang, hanya aku yang tersisa? Berarti mereka sudah membantainya, secepat itu?
“It means–” kata Rin menginterupsi.
“You're the last target.”
"Mereka akan mengejarmu, mencarimu di seluruh belahan dunia untuk dihabisi. Misi ini akan sangat berbahaya. Kami akan melindungimu, Donghae-ya."
"Mereka akan mengejarmu, mencarimu di seluruh belahan dunia untuk dihabisi. Misi ini akan sangat berbahaya. Kami akan melindungimu, Donghae-ya."
~TBC~
Okelah sumpah ini absurd banget.. Admin sebenernya ragu mau lanjut atau ga.. tergantung readers aja sih.. komennya ya klo mau lanjut.. hehehehe.. admin mau tau pendapat readers sama FF gaje ini.. boleh yaaa.. idenya sih dah ada kalau mau lanjut.. tapi readersnya ada ga ya? pliss komen! chingudeul bisa jadi mood booster untuk mbuat FF ini.. gomawoo *kedip2 ga jelas* semoga suka ya.. hehehe ^^ bye.. *terbang*By : PSJ
keren loh. lanjut ya
BalasHapusLanjut aja min .. Seruuu..
BalasHapus